
Pada suatu perayaan natal, saya memiliki keinginan yang besar untuk menjadi Santa Claus, Santa Claus digambarkan sosok orang tua yang baik, berjanggot putih, pakaian tebal merah, bertopi merah, memakai bot hitam besar, kemana-mana selalu selalu menggunakan kereta rusa, serta selalu membawa kado dalam sebuah kantong besar, dalam cerita Santa Claus selalu memberi hadiah dengan cara memasukkannya ke dalam kaus kaki dan melewati cerobong asap rumah. Luar biasa tokoh Santa Claus tersebut.
Dan Impian saya menjadi kenyataan, sebab saya menjadi Santa Claus pada perayaan natal sebuah sekolah di Sungai Raya, alangkah senangnya saya hari itu. Saya masih ingat kejadian perayaan natal tersebut, banyak anak berebut berfoto dengan saya, meminta hadiah, sekedar bersalaman, atau lain-lain, pendek kata saya yang menjadi Santa Claus pada perayaan natal tersebut menjadi bintang dan menjadi pusat perhatian.
Peristiwa tersebut telah berlalu beberapa tahun lalu, namun kejadian itu tidak saya lupakan, namun ketika perayaan natal tahun ini datang lagi dan saya mencoba merenungkan peristiwa di atas, ada banyak hal yang sering kita lupakan ketika merayakan natal, Santa Claus telah mengeser makna natal itu sendiri, ia telah mencuri perhatian banyak orang, bukankah merayakan natal itu fokus utamanya adalah Yesus, bukan Santa Claus, bukankah tema natal itu kesederhanaan, bukan hura-hura seperti Santa Claus yang membagi hadiah, bukankah hiasan natal sesungguhnya adalah palungan, bukan pohon natal dan asesorisnya, bukankah lagu natal sesungguhnya suara gembala, malaikat, bukan lagu disko.
Secara tidak sadar kita telah merebut makna natal yang sesungguhnya dengan menggantikan tokoh Yesus dalam rupa Santa Claus.
Pontianak, 31 Desember 2008
Komentar